HUKUM

Eksepsi Tidak Diterima, Terdakwa Penyalaguna Narkotika Golongan I Dalam Bentuk Tanaman Jenis Ganja Bagi Diri Sendiri Mengajukan Uji Materiil PASAL 143 AYAT (2) KUHAP KE MAHKAMAH KONSTITUSI Republik Indonesia

Jakarta||Liputankasus.com ~  I  Gusti  Ngurah  Agung  Krisna  Adi  Putra, seorang Warga  Negara  Indonesia(WNI),telah mengajukan  permohonan  uji  materiil  terhadap  Pasal  143  ayat  (2)  Kitab  Undang-Undang Hukum Acara  Pidana  [KUHAP]  ke Mahkamah Konstitusi  Republik  Indonesia. Uji materi  ini  dilakukan  dengan  dukungan Pemberi Bantuan Hukum  dari Yayasan Advokasi Bantuan Hukum  [Yayasan  SIBAKUM], yang dipimpin oleh  Singgih  Tomi  Gumilang,bersama-sama  Rudhy  Wedhasmara,Faisal Wahyudi Wahid  Putra,  Ferry Yuli Irawan,Nining Kurniati,Fitri Ida Laela,  dan Rr. Adinda Dwi Inggardiah.

“Permohonan  ini  didaftarkan  secara  daring  melalui  tautan  https://simpel.mkri.id/ dengan  nomor:  153/PAN.ONLINE/2024,  pada  hari  Senin  Legi,  tanggal  25  bulan  November  tahun  2024,  jam  21:37  WIB,  yang  pada  pokoknya  menggarisbawahi  frasa  “surat  dakwaan  yang  diberi  tanggal  dan  ditandatangani” dalam  Pasal  143  ayat  (2)  KUHAP,yang dianggap bertentangan dengan  Pasal 28D  ayat  (1)  Undang-Undang  Dasar  1945.  Pemohon  menilai, bahwa  ketentuan  ini,  dalam praktiknya, kerap menjadi penghalang  bagi  terdakwa  untuk  mendapatkan  kepastian  hukum  yang  adil”, ungkap Singgih Tomi  Gumilang.

Fokus Uji Materi
 Pemohon menyatakan,bahwa  penerapan ketentuan administratif terkait  tanggal dan tanda tangan pada surat dakwaan  sering kali tidak konsisten.Dalam kasusnya,  terdapat dua versi surat dakwaan yang  kesemuanya tidak diberi tanggal dan  ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum  Putu Wulan Sagita Pradnyani,sehingga  menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dasar Permohonan
-Permohonan ini dilandasi  oleh:

1. Kepastian Hukum dan Keadilan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin hak  setiap individu atas perlindungan hukum yang  adil.Ketidakjelasan norma administratif dapat  mengakibatkan pelanggaran hak-hak terdakwa.

2. Multitafsir  Hukum
Frasa “surat  dakwaan yang diberi tanggal dan  ditandatangani”dalam Pasal 143 ayat (2)  KUHAP dianggap membuka peluang  interpretasi yang tidak konsisten ditingkat  pengadilan.

3. Implikasi  Praktis
Surat dakwaan yang tidak diberi tanggal dan  tanda tangan menghalangi terdakwa untuk  menyusun pembelaan secara optimal,  melanggar prinsip due process of law.

Petitum
 Pemohon meminta agar Mahkamah  Konstitusi Republik Indonesia:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk  seluruhnya.

2. Menyatakan frasa  ‘surat  dakwaan  yang  diberi tanggal dan ditandatangani dalam norma  Pasal 143 ayat (2) Undang-Undang Republik  Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum  Acara Pidana  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,Tambahan  Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor  3209] bertentangan dengan Undang-Undang  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945  dan tidak mempunyai kekuatan hukum  mengikat secara bersyarat,sepanjang tidak  dimaknai surat dakwaan yang diberi tanggal  dan ditandatangani yaitu surat dakwaan yang  diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada  Majelis Hakim dan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya.Sehingga,norma Pasal  143 ayat (2) Undang-Undang Republik  Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum  Acara Pidana [Lembara]  Negara  Republik  Indonesia Tahun  1981  Nomor  76,Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  3209]  selengkapnya  berbunyi  Penuntut  umum  membuat  surat  dakwaan  yang  diberi  tanggal  dan  ditandatangani  kepada  Majelis  Hakim  dan  kepada  Terdakwa  atau  Penasihat  Hukumnya  serta  berisi:

a. nama  lengkap,  tempat  lahir,  umur  atau  tanggal  lahir,  jenis  kelamin,  kebangsaan,  tempat  tinggal,  agama  dan  pekerjaan  tersangka;

b. uraian  secara  cermat,  jelas  dan  lengkap  mengenai  tindak  pidana  yang  didakwakan  dengan  menyebutkan  waktu  dan  tempat  tindak  pidana  itu  dilakukan.

3. Memerintahkan  pemuatan  putusan  ini  dalam  Berita  Negara  Republik  Indonesia  sebagaimana  mestinya.

“Dengan  permohonan  ini,  Pemohon  berharap  Mahkamah  Konstitusi  Republik  Indonesia  dapat  menjadi  penjaga  hak  konstitusional  setiap  warga  negara  Indonesia  memberikan  tafsir  bersyarat  atas  norma  tersebut,  sehingga  keadilan  substantif  dapat  diwujudkan  tanpa  mengorbankan  kepastian  hukum  serta  memastikan  hukum  tidak  hanya  menjadi  aturan,  tetapi  juga  sarana  untuk  menegakkan  keadilan  konstitusional  yang  sejati”,  ucap Singgih  Tomi  Gumilang.

Tentang  Yayasan  Advokasi  Bantuan  Hukum  [Yayasan  SIBAKUM]

Yayasan  Advokasi  Bantuan  Hukum  [Yayasan  SIBAKUM]  hadir  sebagai  garda  depan  dalam  memperjuangkan  hak-hak  konstitusional  dan  keadilan  hukum  bagi  setiap  warga  negara  Indonesia.  Kami  percaya  bahwa  hukum  bukan  hanya  alat  untuk  mengatur,  tetapi  juga  medium  untuk  melindungi,  mengayomi,  dan  memulihkan  hak-hak  individu  yang  terpinggirkan.

Sejak  berdiri,  Yayasan  SIBAKUM  telah  berkomitmen  memberikan  pendampingan  hukum  yang  profesional,  inklusif,  dan  berintegritas  tinggi.  Kami  tidak  hanya  mendampingi  mereka  yang  membutuhkan  keadilan,  tetapi  juga  aktif  dalam  mendorong  reformasi  hukum  yang  berpihak  pada  prinsip-prinsip  hak  asasi  manusia.(red)

 

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button