OLAHRAGA

Sepak Bola Dan Potret Pemerintah Indonesia

Surabaya ~ Sebagian besar rakyat Indonesia tadi malam bisa tidur nyenyak. Riuh tepuk tangan kemenangan, menyeruak seantereo Nusantara.

“Pasukan” Garuda memaksa timnas Malaysia bertekuk lutut, 4 : 1 untuk Indonesia.

Rakyatpun sejenak bisa meneguk bahagia, melupakan beban derita, ditengah meningkatnya jumlah kemiskinan di Indonesia.

Saya sangat berharap timnas Indonesia, bisa menjadi pemenang dalam pertarungan bergengsi ini, meski masih tersisa keraguan. Pasalnya, sering dalam banyak hal, termasuk di dunia sepakbola (olahraga), pendekatan politis lebih dominan daripada pendekatan profesional.

Ketua DPW Partai Gelora Jatim Muhamad Sirot, bersama Pengurus

Misalnya, pemilihan ketua PSSI dan KONI secara defacto adalah pertarungan partai partai politik. Inilah yang menjelaskan mengapa, prestasi olahraga di Indonesia tak banyak bisa dibanggakan.

Sepak Bola, sesungguhnya bukan soal sepak menyepak bola. Bukan pula soal rea reo para penonton. Tetapi ia potret kecil soal kapasitas negara mengelola rakyatnya.

Logikanya, mengelola sepak bola saja gak becus, apalagi mengelola 260 juta Rakyat Indonesia dengan seabrek masalah.

Lihat saja negara negara maju, seperti Eropa dan Amerika. Mereka sangat serius mengelola hal ” remeh temeh” seperti club sepak bola. Karena mereka sangat biasa mengelola skala negara dengan amat serius.

Kita? hal hal besar saja, menyangkut hajat hidup rakyat, dikelola secara serampangan. Para pejabat hanya berpikir bagaimana bisa mendulang keuntungan pribadi, tak peduli rakyat busung lapar dan menjerit dalam ketidakberdayaan. Apalagi hal hal kecil seperti olahraga, gak mungkin di pikir serius.

Banyak hal yang ditakar dengan kaca mata untung rugi secara politis.

Penegakan hukum, misalnya, tidak dengan pendekatan paradigma keadilan dan kemanusiaan, tetapi lebih dilihat apa keuntungan politisnya.

Akibatnya, tebang pilih masih saja terjadi dimana mana. Kasus HRS salah satu potret buram penegakan hukum di Indonesia.

Banyak pejabat yang mengumpulkan ratusan hingga ribuan orang di masa PPKM lepas dari jerat hukum. Salah satunya kegiatan vaksin di tambaksari Surabaya yang membuat ribuan orang saling berdesakan dan dihadiri pejabat tinggi. Demikian juga pengumpulan massa oleh salah satu walikota di Jateng, anaknya pejabat besar Jakarta, juga lolos dari jerat hukum.

Lalu mengapa hukum hanya berlaku pada HRS?.

Secara politik, eksistensi HRS tidak menguntungkan pemerintah. Ia dianggap pendulum politik yang bisa menggagalkan rencana-rencana politis pejabat tinggi, termasuk rangkaian pilpres dan pilkada.

Demikian juga dari sisi program ekonomi, pendekatan politis lebih terasa dibanding pendekatan kemanusiaan. Distribusi bantuan sembako, didistribusikan dengan menggunakan instrumen partai poilitik. Sebagain yang mendapatkan bantuan atas rekom partai politik. Akibatnya, penyebaran bantuan tidak merata.

Saat saya menyertai kampanye di pilkada Ponorogo, sebagai relawan Jarsos, setahun lalu, saya menangkap ada ketakutan para kepala desa. Pasalnya, kepala daerah melakukan pressure kepada kepala Desa. kalau manut dan membantu pemenangan incumben, maka dia akan dibantu. Jika tidak, maka habislah nasib kepala Desa, jangan berharap ada bantuan pemrintah datang.

Kita juga sering mendengar jeritan rakyat miskin di Desa Desa, yang tak tersentuh akses BPJS gratis, bantuan sembako gratis dan program pemerintah lainnya. Malah justru warga yang terbilang mampu, rumahnya bagus, punya kendaraan dapat akses bantuan.

Jadi, inilah potret Indonesia. Ini pula potret sebagian pejabat kita. Menjalankan amanah rakyat atas dasar pertimbangan politis, bukan profesionalisme dan kemanusiaan.

Jika ingin Timnas menang, rakyat sejahtera, lepaskan menegemen pengelolaan negara dari motive Politik.
(abh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button